Nordianto Membangun Kesadaran Remaja Mencegah Pernikahan Dini Melalui GenRengers Educamp
Apakah teman-teman ingat tentang sinetron yang viral pada era 2000-an berjudul “Pernikahan Dini”? Ya, sinetron ini pasti masih diingat oleh banyak orang, terutama mereka yang tumbuh besar di era 2000-an. Sinetron “Pernikahan Dini” pertama kali tayang pada tahun 2001 dan sangat populer di Indonesia. Dibintangi oleh Agnes Monica (sekarang Agnez Mo) dan Sahrul Gunawan yang mengisahkan cerita cinta remaja yang harus menghadapi kenyataan pernikahan di usia muda.
Cerita Pernikahan Dini menjadi sorotan karena menampilkan konflik-konflik yang dihadapi pasangan remaja dalam pernikahan, seperti tanggung jawab besar, perbedaan pandangan, dan penyesuaian diri. Meskipun dramatis, sinetron ini memberi gambaran tentang tantangan yang mungkin dihadapi oleh remaja yang menikah muda, dari sisi psikologis hingga sosial. Judul dan cerita sinetron ini bahkan menjadi ikon dan sering dijadikan istilah untuk menggambarkan fenomena pernikahan di usia dini.
Sinetron ini juga turut menyoroti masalah sosial dan nilai-nilai keluarga yang kuat, sehingga banyak penonton yang merasa ceritanya dekat dengan kehidupan sehari-hari. Related banget dengan kehidupan pernikahan dini sesungguhnya, bahkan setelah lebih dari dua dekade, sinetron ini tetap dikenang sebagai salah satu sinetron yang paling ikonik di era tersebut.
Pernikahan dini, khususnya di kalangan remaja perempuan, masih menjadi fenomena yang mengkhawatirkan di Indonesia. Meskipun aturan dan batasan usia untuk menikah sudah diatur dalam hukum, angka pernikahan dini tetap tinggi di beberapa daerah, terutama di wilayah pedesaan, daerah perbatasan hingga pulau terluar. Di balik upacara pernikahan yang sederhana, tersembunyi tantangan besar yang dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental para remaja. Pernikahan dini di Indonesia masih menjadi sebuah tantangan bagi masa depan dan kesehatan generasi muda.
Mengapa pernikahan dini bisa terjadi? Berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan untuk menikah pada usia yang sangat muda, seperti tradisi budaya setempat, tekanan ekonomi, serta rendahnya tingkat pendidikan.
Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia
Fenomena pernikahan dini masih menjadi realitas yang dekat di banyak daerah di Indonesia, terutama di komunitas-komunitas tertentu yang menganggap pernikahan muda sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan diinginkan. Tidak jarang kita mendengar cerita tentang anak-anak yang masih duduk di bangku SMP, sekitar usia 14 tahun, yang sudah menikah. Bagi banyak dari mereka, keputusan ini sering kali bukan hasil dari keinginan pribadi, melainkan pengaruh dari lingkungan sosial, tekanan keluarga, atau bahkan tuntutan ekonomi.
Saya jadi ingat saat SMA dulu, ketika di kelas 2, saya menerima undangan pernikahan dari seorang teman sekelas yang masih berusia 16 tahun. Pengalaman seperti ini mungkin sangat mengejutkan bagi sebagian orang yang tumbuh besar dengan harapan menyelesaikan pendidikan sebelum memasuki dunia pernikahan apalagi bagi masyarakat perkotaan. Namun, bagi sebagian lainnya, menikah muda adalah hal yang biasa dan dipandang sebagai langkah "dewasa" pertama dalam hidup mereka.
Pernikahan di usia remaja membawa banyak tantangan. Di satu sisi, mereka mungkin belum siap secara emosional untuk menjalankan peran sebagai suami atau istri. Di sisi lain, pernikahan dini ini juga bisa membawa risiko kesehatan, terutama bagi anak perempuan yang tubuhnya belum sepenuhnya siap untuk menghadapi kehamilan dan persalinan. Belum lagi, ada banyak risiko mental, seperti stres dan perasaan terbatasnya pilihan di masa depan.
Kasus-kasus seperti ini mengingatkan kita pada pentingnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan dampak pernikahan dini. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan remaja dan keluarga mereka bisa melihat bahwa masa remaja adalah waktu terbaik untuk belajar, mengembangkan potensi diri, dan menyiapkan masa depan yang lebih stabil.
Fenomena pernikahan dini dirasakan oleh Nordianto Hartoyo Sanan atau yang lebih akrab disapa Anto mengalami kehilangan temannya saat duduk di kelas 3 SMP karena sudah dinikahkan oleh orang tuanya. Ibunda Nordianto pun menikah di usia 16 tahun dan pernah mengalami kesulitan dan masalah kesehatan karena menikah di usia muda. Dari sanalah Nordianto terdorong untuk membicarakan isu pernikahan usia muda. Ibunya pernah mengatakan mungkin jika tidak menikah di usia dini, hidupnya akan lebih sukses dan lebih baik.
Inisiatif Nordianto Membuat Program GenRengers Educamp Untuk Tekan Angka Pernikahan Dini
Berbekal dari apa yang dialami Ibunya yang menikah muda, Nordianto memiliki keinginan kuat untuk bisa menyelamatkan anak-anak remaja di daerahnya agar bisa menghindari pernikahan dini. Nordianto berhasil mengumpulkan 20 relawan dan menggagas sebuah program kemah yang dinamakan GenRengers Educamp pada tahun 2016.
Sebuah inisiatif pendidikan inovatif yang berfokus pada pengembangan anak-anak dan remaja di daerahnya. Melalui GenRengers Educamp, Nordianto mengajak generasi muda memahami kesehatan reproduksi, bahaya seks bebas, dan pentingnya kemandirian ekonomi. Program ini juga membantu mereka meningkatkan kesadaran tentang lingkungan, keterampilan hidup, dan kepemimpinan.
Di camp ini, mereka diedukasi dan dilatih yang berfokus pada 3 hal utama, seperti :
- Pengenalan dan peduli terhadap diri sendiri seperti diajarkan organ-organ reproduksi, risiko kesehatan jika mengalami pernikahan dini, persiapan menjadi orang tua dan sebagainya.
- Kemandirian ekonomi melalui program kewirausahaan. Para remaja diajarkan tentang entrepreneur atau kewirausahaan dengan harapan mereka punya semangat untuk berkarya dan bekerja sehingga tidak ada lagi alasan untuk menikah usia muda karena terdesak ekonomi.
- Para remaja diajarkan cakap menggunakan kecanggihan teknologi, berkreasi dan berinovasi.
Pendekatan yang dilakukan oleh Nordianto berdasarkan pengalaman langsung, membuat para peserta menjadi lebih mandiri, tangguh, dan peduli pada isu-isu sosial serta lingkungan sekitar. Para peserta tidak hanya belajar tentang akademik, tetapi juga diperkenalkan dengan nilai-nilai tanggung jawab, kerjasama tim, dan kreativitas.
Program ini sangat berpengaruh di Kubu Raya, karena memberikan peluang bagi anak-anak dan remaja setempat untuk belajar hal-hal baru yang mungkin tidak mereka dapatkan di sekolah formal. GenRengers Educamp juga menjadi salah satu gerakan penting di Kalimantan Barat untuk mencetak generasi muda yang siap menghadapi tantangan masa depan dengan keterampilan yang mumpuni dan mental yang kuat.
Di GenRengers Educamp, anak-anak dan remaja belajar tentang pentingnya pendidikan, kesehatan reproduksi, dan dampak negatif pernikahan dini. Nordianto menyadari bahwa pernikahan di usia remaja dapat membawa banyak risiko, termasuk masalah kesehatan fisik dan mental, serta keterbatasan peluang untuk mengembangkan diri. Dengan pendekatan edukasi yang menyenangkan dan berbasis pengalaman, GenRengers Educamp memberikan pandangan baru kepada generasi muda agar mereka memahami pentingnya menunda pernikahan hingga benar-benar siap secara fisik dan mental.
Pria asal Kubu Raya, Kalimantan Barat ini berhasil mengurangi angka pernikahan dini di tempat asalnya. Anak-anak dan remaja masih bisa belajar banyak hal untuk masa depannya.
Nordianto Mendapat Apresiasi dari SATU Indonesia Awards Tahun 2018
Inisiatif Nordianto melalui GenRengers Educamp mendapat banyak apresiasi dan dukungan dari masyarakat. Dengan semakin banyaknya anak muda yang ikut berpartisipasi, harapan akan masa depan yang lebih cerah bagi Kubu Raya semakin nyata. Nordianto dan GenRengers Educamp adalah contoh bagaimana satu individu dapat menggerakkan perubahan besar di komunitasnya, menciptakan ruang belajar yang inspiratif, dan membangun kesadaran lingkungan serta kepemimpinan sejak usia dini.
Dedikasi Nordianto untuk meningkatkan kesadaran kesehatan dan menekan angka pernikahan dini di Kubu Raya mendapat apresiasi dari SATU Indonesia Awards. Pada tahun 2018, ia dianugerahi penghargaan di bidang kesehatan atas usahanya yang nyata dalam memberikan pendidikan dan membangun generasi muda yang lebih sehat dan peduli. Nordianto adalah contoh nyata bagaimana kepedulian terhadap kesehatan dan pendidikan bisa mengubah masa depan komunitas, menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Nordianto menjadi satu dari tujuh pemuda yang dianggap telah berkontribusi signifikan terhadap kehidupan masyarakat mendapat penghargaan SATU (Semangat Astra Terpadu untuk Indonesia) Indonesia Awards pada tahun 2018 lalu. Melalui GenRengers Educamp, Nordianto mengembangkan program edukasi kesehatan terhadap remaja yang berusia muda dan menjalani sekolah. Ia melakukan edukasi kepada remaja di pinggiran kota bahkan sampai ke desa-desa di Kalimantan Barat.
GenRengers Educamp telah menjangkau 14 kabupaten dan kota di Kalimantan Barat. Mereka juga memperluas cakupan program ini ke berbagai daerah. Nordianto juga aktif sebagai pengajar Cross Cultural Understanding di Polandia melalui program European Union.
Nordianto melalui program GenRengers Educamp dengan pendekatan edukasi berbasis pengalaman dan pembentukan relawan muda, memberikan wawasan kepada para remaja tentang dampak pernikahan dini serta membekali mereka dengan keterampilan kepemimpinan dan rasa tanggung jawab. Melalui program tersebut juga merupakan kontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, membangun masa depan yang lebih sehat dan berpendidikan. Inisiatif ini bukan hanya berhasil menanamkan kesadaran, tetapi juga menjadi inspirasi bagi daerah lain, menunjukkan bahwa perubahan positif dapat dimulai dari langkah-langkah kecil yang berkelanjutan.
Komentar
Posting Komentar