Antara Saya, Rasa Takut, Dan Ketinggian
Saat berada di ketinggian, saya sadar, saya bukan apa-apa Foto by kumparan.com Design by canva |
Pukul 03.30 pagi
waktu Kuala Lumpur, saya bergegas mengantar rombongan pulang ke Jakarta dengan
waktu penerbangan mereka pukul 06.20. Kami naik taksi yang sudah saya pesan
malam sebelumnya agar tidak susah lagi ketika pagi-pagi buta ini. Alhamdulillah
perjalanan menuju bandara lancar karena memang kami telah menginap di hotel
dekat KLIA. Mereka kembali ke Jakarta, sementara saya melanjutkan perjalanan
menuju Singapore. Mereka naik pesawat dari KLIA sementara saya harus pindah ke
KLIA 2. Setelah membantu check-in dan
memastikan mereka masuk Imigrasi, saya menuju KLIA 2 dengan menggunakan shuttle bus.
Pagi masih
gelap. Mata saya sudah tak mampu lagi menahan kantuk. Saya hanya tidur 1,5 jam.
Sesampainya di KLIA 2, saya beli teh manis hangat dan sepotong roti untuk menghangatkan
badan serta menyegarkan mata. Jadwal penerbangan saya ke Singapore pukul 08.00.
Setelah selesai mengisi perut, saya langsung menuju mesin check-in mandiri dan bergerak menuju pemeriksaan Imigrasi. Semua lancar,
semua aman, saya memutuskan untuk langsung menuju gate keberangkatan. Meskipun gate-nya
belum dibuka, saya mencari tempat duduk dekat sana. Kaki sudah lemas, sudah
tidak berminat keliling bandara untuk membunuh waktu. Saya hanya ingin segera boarding dan tidur di pesawat, mengingat
saya harus simpan tenaga karena begitu sampai Singapore nanti, saya masih harus
menemani rombongan lainnya. Ya, perjalanan kali ini dalam rangka ikhtiar
mencari rejeki, dan saya dapat banyak rejeki termasuk bepergian gratis ini.
Alhamdulillah gate-nya dibuka tapi pesawatnya delay 30 menit. Saya duduk baris ketiga
dari meja petugas maskapai. Saya sandarkan kepala dan tanpa sadar saya
tertidur. Petugas maskapai teriak-teriak memberi tahu jadwal boarding telah tiba, saat itulah saya
terbangun. Lumayan tidur sekitar 30 menit tapi tidak membuat mata saya jadi
segar kembali. Saya mendapat nomor kursi 27 C, ah masih ingat kan. Nomor kursi
mendekati ekor pesawat ini membuat saya agak sedikit tidak nyaman. Sebenarnya bukan
karena duduk di belakang tapi karena samping duduk saya orang bule dengan
panjang kaki hampir 2 kali panjang kaki saya. Sudah jarak kursi terbatas, dia
duduk miring. Ujian-Mu sungguhlah nyata Ya Allah. Sudah saya ngantuk berat,
samping saya duduk miring pula *nangis.
Take off berjalan lancar Alhamdulillah dan
saatnya saya tidur. Suasana di dalam pesawat mendadak senyap. Lama perjalanan
ini hanya 1 jam 15 menit, maka saya harus gunakan waktu sebaik mungkin untuk
tidur. Sepertinya belum lama saya tidur, pesawat mengalami goncangan cukup
terasa, apalagi saya duduk di belakang. Pilot memperingatkan untuk
mengencangkan sabuk pengaman dan tidak menggunakan toilet karena pesawat
mengalami turbulence disebabkan cuaca
buruk. Oke, saya lanjut memejamkan mata, dan 5 menit kemudian pesawat kembali
mengalami goncangan. Cepat-cepat saya buka mata dan melihat beberapa penumpang
sudah mulai panik dan komat-kamit (mungkin baca doa).
Saya melihat ke
arah bule sebelahku, buset dia masih molor pakai mendengkur pula. Buset bisa-bisanya.
Lalu kawan sebelahnya membangunkannya. Mungkin memberi tahu bahwa cuaca di luar
buruk banget. Jendela yang tadinya ditutup, dibuka oleh semua penumpang. Dari situ
pula saya tahu bahwa pesawat kami berada di tengah-tengah awan hitam tebal,
hujan deras lengkap dengan kilatan-kilatan petir. Saya melihat jam di tangan,
waktu mendarat masih kurang lebih 30 menit lagi, berarti kemungkinan ini berada
di atas laut. Pesawat mendadak hilang kendali. Turun sekian kaki, goyang-goyang
kemudian naik lagi. Pilot kembali memberi pengumuman bahwa kita sedang berada
pada cuaca yang sangat buruk dan dia meminta kami semua tetap tenang.
Tanpa pikir
panjang, saya raih tas selempang yang saya letakkan di kompartemen bawah, mengambil
Paspor, KTP dan kartu ATM. Saya simpan pada saku celana dan baju saya secara
terpisah. Saya melihat ke arah jendela, awan hitam itu semakin pekat dan
kilatan petir semakin terang. Saat itu saya langsung berdoa, entah ayat apa
saja yang keluar dari mulut saya, pokoknya saya berdoa mohon ampun. Saya berpikir
jika takdir Allah saat itu mengharuskan pesawat kami terjatuh, saya ridho. Saya
kantongin kartu identitas saya dengan harapan jika pun takdir kematian saya
berada di tengah lautan, minimal kalau jasad saya ditemukan, saya masih bisa
dikenali atau diidentifikasi.
“Allahuakbar, Allahuakbar” teriak beberapa
penumpang saat pesawat ini kembali turun naik. Aduh sudah lah saya makin
memperkuat doa bahkan saya sempat menulis catatan di ponsel bahwa saya bukan
apa-apa, saya tidak ada artinya dibandingkan alam semesta yang luas ini. Sungguh,
saya hanya manusia biasa penuh dengan salah. Ingin nangis tapi malu, ingin
memeluk orang tapi tidak mungkin, masa saya meluk bule itu. Saya takut sekali.
Tidak sampai 5
menit, tiba-tiba kami masuk ke awan putih berhiaskan sinar matahari yang
mentereng. Wow. Saya takjub. Subhanallah. Di atas langit sana memang banyak
misteri. Atas kuasa Allah juga bisa jadi seperti itu. Seluruh penumpang
bersyukur karena sudah dapat melihat Singapore yang ditandai dengan banyaknya
kapal-kapal yang sedang berlayar di perairan Singapore.
Saat berada di
ketinggian saya menyadari bahwa saya begitu kecil. Pada ketinggian pula saya
tahu bahwa saya bukan apa-apa. Hanya manusia biasa. Terima kasih Allah karena
telah memberikan saya kejadian itu sebagai pengingat.
Saya ketika sedang berada di Genting Skyway dan saat itu juga saya merasakan hal yang sama Doc. Andini Harsono |
Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa ya, mba.
BalasHapusKalau naik pesawat memang deg-degan nya double ya. Mungkin karena kita berada jauh di atas sana dan gak bisa melihat apa yang sedang terjadi di depan. Cuma bisa pasrah dan berdoa.
Saya tiap mengalami turbulence selalu ingat film Habibie & Ainun. Kata pak Habibie, pesawat berguncang itu bagus, tandanya tidak ada yang bolong atau retak pada pesawat. Wallahualam.