Jarak Satu Spasi
Sebuah ruang di Kuala Lumpur doc : Andini Harsono re-design from Canva |
Jarak
kita semata waktu
Dulu
bersatu
Sekarang
terpisah
Nanti
entah
Rentang
kita semata rindu
Aku
di sini
Nun
di sana kamu
Kupuisikan
rindu kau rindukan puisiku
Spasi
antara kita
Hanya
satu ketukan
Bila
tak berjarak kalimat tak sempurna
Bila
berjarak sempurna luka kita
Jarak – Kang Maman
Tak
bosan aku baca berulang kali puisi berjudul “Jarak” dalam buku Bhinneka Tunggal
Cinta karya Kang Maman yang sengaja aku bawa sebagai teman perjalananku selama
17 hari ini. Ya, memang saat ini aku sedang berada jauh denganmu untuk sekian
waktu dengan perbedaan waktu.
Tapi
entah mengapa, belakangan sebelum aku pergi, kamu seperti membuat jarak di
antara kita. Padahal, bukankah aku dan kamu hanya berjarak satu spasi?
Waktu
menunjukkan pukul 20.35. Setelah selesai mandi, aku bergegas turun menuju mini
market samping hostel tempat aku tinggal. Gerimis hujan menjadi pengantar malam
ini di Kuala Lumpur. Kurogoh saku yang berisi recehan uang ringgit untuk
kugantikan sekotak susu kedelai cokelat yang rasanya, hmmm nikmat sekali. Di
Jakarta belum ada susu kedelai kemasan rasa cokelat senikmat ini.
Sesaat
aku terlibat perbincangan dengan sesama pembeli susu kedelai cokelat dimana ia
juga sedang melancong di sini. Perempuan asal Spanyol itu datang bersama 3
temannya dan menginap di hostel yang sama denganku tetapi beda kamar.
Mereka
akan melakukan perjalanan ke beberapa Negara di ASEAN termasuk Indonesia. Semangat
45 aku promosikan tempat-tempat indah di Indonesia tak lupa kutunjukkan
foto-fotonya sebagai marketing kit-ku me-lobby si bule. Aahh itulah mengapa ketika
pergi ke luar negeri aku lebih suka menginap di hostel bergaya dormitory karena
kita bisa saling bertukar cerita.
Puas
ngobrol sana sini, kami bersama-sama kembali ke hostel. Aku menginap di lantai
1 sedang ia menginap di lantai 2. Kami pun berpisah. Setiap penginapan
dormitory pasti memiliki peraturan yang kurang lebih sama. Salah satunya yaitu
pukul 21.00 dilarang berisik. Jadi begitu masuk ke kamar luas berisi 16 kasur
ini, hening seketika.
Aku
beruntung dapat kasur dekat jendela sehingga bisa melihat ke luar. Kubuka
sedikit tirai jendela untuk menikmati kerlap-kerlip lampu jalan serta sesekali
MRT lewat menembus malam nan gerimis. Kupasang headset, putar musik, dan
kembali membaca “Jarak”.
Satu
minggu sudah kita tak bertukar kabar. Kita benar-benar berjarak sekarang. Hatiku
menuntun untuk menyapamu lebih dulu, ya meskipun hanya menanyakan kabar.
Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit hingga 30 menit tak kunjung kamu
balas pesanku.
Rasanya
belum terlalu malam aku mengirim pesan. Tapi ya sudahlah mungkin memang kamu
benar-benar sibuk atau memang sudah ingin memiliki “jarak” denganku.
Kularutkan
hatiku yang sedang berguncang rindu ke dalam bait-bait puisi buku bersampul
merah yang kubeli sehari sebelum keberangkatanku. Buku setebal 117 halaman ini begitu renyah dibaca. Aku gak salah pilih buku yang kubawa bepergian kali ini. Bait demi baitnya sungguh menginspirasi.
Gemerlap lampu berhiaskan gerimis yang semakin ramai berdatangan, menambah dahsyat goncangan rinduku. Oh Tuhan seperti ini rasanya rindu ketika jarak di antara aku dan dia sudah bukan lagi satu spasi? Jika memang rinduku terlarang untukku, lantas mengapa Kau bangun rinduku teramat megah? Oh tidak tidak tidak, aku harus kembali konsentrasi karena perjalananku masih panjang. Masih ada 10 hari ke depan aku berjuang di Negeri orang.
Gemerlap lampu berhiaskan gerimis yang semakin ramai berdatangan, menambah dahsyat goncangan rinduku. Oh Tuhan seperti ini rasanya rindu ketika jarak di antara aku dan dia sudah bukan lagi satu spasi? Jika memang rinduku terlarang untukku, lantas mengapa Kau bangun rinduku teramat megah? Oh tidak tidak tidak, aku harus kembali konsentrasi karena perjalananku masih panjang. Masih ada 10 hari ke depan aku berjuang di Negeri orang.
Kukecilkan volume mp3ku, kutarik nafas dalam-dalam dan ttrrrtrrr.. handphone-ku
bergetar. Tanpa berlama-lama langsung kubuka pesan masuk pada aplikasi berlogo telepon berwarna hijau dan berharap pesan itu adalah balasan dari kamu.
“Esok
saya datang tabuh 08.00 yee, pegi ke Genting tak bole tengah hari. Tak cukup
waktu nanti.” isi pesan Kak Zi padaku. Ia adalah driver plus guide yang
mengantarku beserta rombongan selama di Kuala Lumpur.
Tujuan
kami besok Genting Highlands, dan Colmar Tropicana di Bukit Tinggi, Pahang. Katanya
di sana itu dingin seperti di Lembang, Bandung. Hmm penasaran sedingin apa sih?
“Ok.
Lepas tu kami nak pegi ke Central Market ya.” balasku.
“Central
Market tutup esok. Mereka pegi open house hari Raya. Hahaha..” candanya.
Gak
jauh berbeda dari Indonesia, tradisi di Malaysia kalau lebaran sama aja yaitu pulang
kampung atau mereka sebut Balik Kampung/Tengok Kampung. Sementara
yang rumahnya di Kuala Lumpur, mereka mengadakan open house atau saling
bersilaturahmi. Jadi beberapa toko tutup, rumah dan jalanan sepi karena pada
balik kampung atau pergi open house.
“Ok,
kita nak gabung open house esok.” balasku.
Malam
semakin larut, gurauan Kak Zi cukup menyurutkan goncangan rindu maha dahsyat
yang menyerang tadi.
Akhirnya..
Alamat
Yang paling mudah
dituju
Paling susah dicapai :
Hatimu
Mudah-Susah – Kang Maman
Kuala Lumpur, Juni 2018
--
Puisi "Jarak" dan "Mudah-Susah" diambil dari buku Bhinneka Tunggal Cinta karya Kang Maman.
Kuala Lumpur, Juni 2018
--
Puisi "Jarak" dan "Mudah-Susah" diambil dari buku Bhinneka Tunggal Cinta karya Kang Maman.
bagus mba...
BalasHapuskehamilan