Gagal Move On Dari Siem Reap, Cambodia
Beauty of Angkor Wat, Siem Reap, Cambodia (dok. @sankgendot) |
Melakukan sebuah perjalanan adalah caraku mensyukuri hidup - Andini Harsono
Begitulah kira-kira salah satu moto yang saya pegang dalam menjalani hidup. Bagi saya, dengan melakukan perjalanan, saya bisa lebih banyak belajar tentang kehidupan, tentang bagaimana saya menghargai orang lain, mencari hal-hal baru untuk dipelajari dan merasakan enaknya makanan tradisional tempat itu. Udara dan budaya menjadi pengaruh penting bagi orang-orang yang tinggal di suatu tempat. Saya termasuk orang yang peka terhadap cuaca dan budaya yang mempengaruhinya yang bisa membuat saya betah untuk tinggal atau memilih melanjutkan perjalanan.
Siem Reap adalah ibukota salah satu Provinsi di Kamboja yang membuat saya susah move on. Why? Fresh air, nice people, good food, good environment, unique and classic.
Beauty
of Angkor Wat, Siem Reap, Cambodia
Melompat lebih tinggi di perut Angkor Wat (dok. @sankgendot) |
Pagi-pagi
sarapan roti lengkap dengan telur dan teh manis hangat dengan cuaca yang begitu
segar, menambah semangat kami. Hotel ini menyediakan sarapan paket roti, nasi
goreng, mie goreng dan bubur. Asli enak banget.
Bapak
Tuk-tuk kami telah menunggu tepat pukul 08.00. Kami bergegas dengan semangat. Sebelum
menikmati keindahan candi yang masuk daftar Situs Warisan Dunia UNESCO tahun 1992,
kami mampir beli tiket bus ke Bangkok. Hasil rapat terbatas kami semalam, kami
memutuskan untuk tambah semalam lagi di Siem Reap karena belum puas menikmati
kota yang berhawa sejuk dan berpenduduk ramah ini. Siem Reap bikin saya susah move on.
Harga
tiket bus Siem Reap (SR) menuju Bangkok (BKK) adalah $10 dengan jadwal
keberangkatan pukul 10.00 keesokan harinya.
Setelah
urusan tiket selesai, dengan semangat membara kami menuju Gugusan Candi Angkor
Wat. Sepanjang perjalanan dipenuhi dengan rimbun pepohonan dan suara-suara
hewan dari atas pohon. Tenang banget.
Tiketku diperiksa oleh Mba-Mba cantik Kamboja :D (dok. Andini Harsono) |
Tiket
masuk Angkor Wat $37 dan tiketnya ada foto saya lho hehe. Setiap pengunjung
diwajibkan untuk foto.
Bapak
Tuk-tuk mengingatkan kepada kami untuk tidak membeli makan di area ini karena
semuanya mengandung Babi. Tapi karena perut sudah cukup keroncongan karena
waktunya makan siang, Bapak Tuk-tuk mengantar untuk membeli semacam bubur
sum-sum ala Kamboja gitu. Katanya hanya makanan itu yang bisa kami makan.
Di
Angkor sendiri ada banyak candi-candi dengan letak terpisah meskipun tidak
berjauhan. Seperti Angkor Wat, Angkor Thom dan lainnya. Sebagian dari mereka
sudah tidak berbentuk lagi alias hanya tinggal puing-puing. Ada juga
candi-candi kecil. Pokoknya indah banget.
Bayon of Angkor Thorm (dok. Andini Harsono) |
Berkeliling
Angkor Wat sampai ke dalam-dalam, sampai ketemu dengan monk yang beribadah, waktu yang kami habiskan sekitar 3 jam.
Dari
Angkor Wat kami diantar ke Candi Bayon. Candi yang berisi relief muka dengan
total lebih dari 250 jenis muka ini terdapat 4 pintu masuk dan keluar sesuai
dengan arah mata angin.
(dok. Andini Harsono) |
Perjalanan
berkeliling Angkor kami akhiri dengan menikmati senja di Phnom Bakheng. Untuk
menaiki puncak candi ini, kami harus antri hampir 1 jam karena tempatnya
terbatas dan dibatasi karena banyaknya yang ingin naik. Jadi kami harus
bergantian dengan pengunjung yang lain.
Phnom Bakheng (dok. Andini Harsono) |
Senja di puncak Phnom Bakheng (dok. @sankgendot) |
Makan
Malam di Kampung Muslim Siem Reap
Bapak
Tuk-tuk membawa kami untuk menikmati makan malam masakan halal di Siem Reap. Ternyata
di Siem Reap ada kampung muslim. Akhirnya kami mendengar adzan juga. Warung
makan tempat kami singgah ini yang punya dan yang masak adalah orang Kamboja
asli yang beragama Muslim. Makanannya, juaraaa...
Eits
yang bikin kagum, warung makan ini sepanjang hari memutar lagu-lagu Indonesia,
kami kaget ada lagu-lagu Wali, Noah, hingga Ayu Ting Ting. Luar biasa.
Saya
memesan Sop Ayam Rempah (kalau tidak salah namanya itu hahaha). Benar-benar
rasa rempahnya terasa dan potongan ayamnya puas. Warung makan ini menjadi
penawar lidah kami selama hampir 9 hari berpetualang.
Bapak
Tuk-tuk menyarankan, lain kali kalau kami datang lagi ke Siem Reap, menginap
saja di Kampung Muslim ini. Karena ada masjid dan pastinya makanannya halal. Ok Pak noted, teriakku.
Drama
Laundry Belum Selesai
Karena
kami melakukan perjalanan sudah 9 hari lamanya tanpa mencuci baju, jadi kami
berpikir, kami laundry baju ketika di
Siem Reap saja. Mas-mas resepsionis hotel sudah mengingatkan agar kami
mengambil laundry dry clean yang
terletak 200 meter sebelah kanan dari hotel. Tapi ternyata laundry tersebut tutup akhirnya kami mencari laundry lain.
Ternyata
tempat laundry tersebut menggunakan
teknik mencuci manual. Alias keringnya mengandalkan matahari. OMG. Baju-baju
kami hampir kami relakan untuk kami tinggal di Siem Reap. Tapi ALLAH
berkehendak lain, baju-baju kami rampung disetrika tepat pukul 08.00 yang
artinya 2 jam sebelum keberangkatan kami menuju Bangkok. Kebayang dong perasaan
kami seperti apa. Huftt.
Jadi
saya sarankan, kalau kalian bepergian dan hendak melaundry baju, maka jangan pernah coba-coba laundry seperti kami. Pastikan bahwa itu laundry bisa dry clean
tidak manual. Kalau memang waktunya mepet, lebih baik tidak usah dicuci dulu
bajunya, ya sudah lah ya namanya juga backpacker, kering-keringin saja di dalam
kamar agar keringat yang menempel di baju menguap. Hehe.
Catatan
pengeluaran saya hari kedua di Siem Reap.
Tiket
masuk Angkor $37
Tiket
Bus SR-BKK $10
Sewa
Tuk-tuk $5
Makan
$5
Hotel
1 malam Rp. 80.000,-
Souvenir
$2
Baju
Motif Cambodia $4
Laundry $2
Saya
“Lemah” di Tengah Rel Kereta Perbatasan Kamboja – Thailand
Kami
dapat bernafas panjang setelah drama laundry berhasil kami lewati dengan aman. Perjalanan
kami lanjutkan menggunakan bus menuju Bangkok, Thailand. Bapak Usman menjemput
kami dari hotel dan mengantarkan ke pool bus. Apa yang terjadi? Beliau tidak
mau kami bayar sewa tuk-tuknya. OMG. Katanya, beliau senang sekali bisa
mengantarkan kami keliling-keliling Siem Reap kemarin. Meskipun diwakilkan
dengan saudaranya (yang namanya saya lupa itu, maafkan).
Perpisahan
haru dengan Bapak Usman telah usai, kami bergegas menuju bus. Kali ini bukan
sleeping bus. Tapi busnya tinggi, karena bagian bawah digunakan untuk bagasi
barang. Menariknya, kami berempat penumpang yang berasal dari Asia, sisanya
dari Eropa dan Amerika. Kece kan.
Tidak
memerlukan waktu lama, kami tiba di imigrasi keluar Kamboja dan masuk Thailand.
Kondektur bus meminta kami membawa semua barang kami untuk diperiksa di
imigrasi. Saya terpana melihat keadaan imigrasinya. Berada di tengah-tengah
pasar dan keramaian padat penduduk (pemukiman, terlihat juga perkantoran di
sana), kantor Imigrasi Kamboja seperti layaknya kantor pos. Bangunannya tidak
luas dan terdiri dari 6 loket dengan 2 loket untuk Warga Negara Kamboja.
Setelah
mengantri sekitar 30 menit, tiba giliran saya dan ternyata dipungut biaya $3
dollar untuk mendapatkan stempel keluar dari Negara ini. Para traveler pun
kaget dibuatnya, tapi ya sudah lah.
Saya
dan rombongan berjalan menuju Imigrasi Thailand yang terletak di seberang
jalan. Agak jauh sih sekitar 500an meter dan kami harus menyebrang rel kereta. Sepanjang
perjalanan kami disuguhkan dengan padatnya pasar, pedagang kaki lima dan juga
angkot-angkot ngetem. Tiba-tiba cuaca menurunkan hujan rintik. Saya yang
membawa koper 18 inch dibuat panik karena harus menggeret koper dalam kondisi
ramai, berdesakan, dan hujan.
Akhirnya
saya terpisah dari ketiga teman saya, ya meskipun saya masih bisa melihat
mereka, tapi saya cukup panik karena saya berada dikerumunan orang-orang asing
sesama penumpang bus (busnya ada banyak) dan penduduk lokal. Kemudian kepanikan
saya bertambah ketika adanya gerombolan orang berlarian berhamburan menyebrangi
rel, sementara selangkah lagi saya menginjakkan kaki ke rel. Saya yang
berbarengan dengan Mas-mas asal Italia, dan 2 Mba-mba asal Jerman saling
berpandangan. Saya yakin mereka juga kaget.
Saya
menghentikan langkah sejenak di tengah rel, ternyata Mas-mas Italia dan Mba-Mba
Jerman mengikuti langkah saya. Kemudian saya menengok ke belakang, banyak penumpang bus yang menghentikan langkah juga. Saya mengamati sekeliling,
ternyata ada semacam razia. Lalu saya paham, tempat itu adalah perbatasan dua
Negara, ada peraturan yang harus dipatuhi, tapi lagi-lagi ada saja yang mencoba
melanggarnya. Mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa terus berlarian.
Kebanyakan anak-anak dan remaja usia antara 10-16 tahun. Mirisnya lebih banyak
perempuannya.
Sesaat
saya lemah. Koper yang saya bawa seakan memiliki berat lebih dari 20 KG, kaki
saya lemas, saya tidak sanggup melangkah lagi. Saat itu juga, saya mengucapkan
terima kasih kepada ALLAH karena saya lahir dan tinggal di tempat yang lebih
layak. Saya berada di tempat aman dengan keluarga dan sahabat yang senantiasa sayang sama saya dan melindungi saya. Saya bersyukur.
Kak
Uen berteriak memanggil namaku, saat itulah saya tersadar. Kami melanjutkan
langkah menyusuri jembatan untuk sampai ke kantor Imigrasi Thailand.
Sungguh
perjalanan luar biasa saya alami ketika menyebrang dari Siem Reap menuju
Bangkok. Kejadian seru itu tidak akan pernah saya lupakan. Perbatasan antar
Negara selalu rentan terhadap human
trafficking. Hal yang paling membuat saya prihatin. Selalu kepikiran,
bagaimana nasib anak-anak korban human
trafficking, bagaimana keadaan mereka, dan bagaimana perlindungan hukum
bagi mereka.
Saya
menghela nafas panjang. Antrian panjang di kantor Imigrasi Thailand tidak terasa
karena saya masih terus kepikiran dengan kejadian itu. Memang setiap perjalanan
selalu menuliskan cerita baru untuk dikenang dan pelajaran baru untuk disimpan
jadi pengalaman. Saya meyakini bahwa setiap perjalanan selalu memberi makna
bagi setiap pejalannya. Dan setiap saya melakukan perjalanan adalah cara saya
untuk mensyukuri hidup.
Ki-Ka : Kak Uen, Kak Risang, Kak Septi, Aku Tim ASEAN 4 Negara 2017 (dok. @sankgendot) |
Kenangan yang tak terlupakan (dok. Andini Harsono) |
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuswah keren sekali tempatnya :D
BalasHapusperalatan dapur