Regenerasi Lurik Yogyakarta di Ajang Meet The Makers Ke-11
Lurik Karya Lawe pada ajang Meet The Makers, di Alun-Alun Indonesia, Grand Indonesia, Jakarta (dok. Andini Harsono) |
Keragaman
suku bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan yang tak ternilai harganya.
Tiap-tiap suku bangsa memiliki ciri khas masing-masing, sehingga melahirkan
keragaman budaya sekaligus menjadi identitas suatu suku bangsa. Hal ini dapat dilihat
dari jenis pakaian yang dipakai memiliki corak, motif, bahan, hingga cara
membuatnya yang berbeda. Maka lahirlah pakaian adat atau pakaian tradisional
yang menjadi ciri khas suku daerah asalnya. Salah satu pakaian tradisional
masyarakat Jawa di Yogyakarta adalah kain lurik.
Lurik
pada mulanya dibuat dalam bentuk sehelai selendang berfungsi sebagai kemben
atau pakaian penutup dada pada perempuan. Kemudian lurik juga berfungsi sebagai
alat untuk menggendong sesuatu di punggung seperti yang dilakukan oleh pedagang
di pasar tradisional dan penjual jamu gendong di daerah Jawa. Hampir seluruh
masyarakat Jawa menggunakan lurik sebagai pakaian sehari-hari. Untuk pakaian
perempuan dibuat kebaya dan tapih atau jarik bawahan sedangkan untuk laki-laki
dibuat pakaian bernama beskap (Solo) atau surjan (Yogyakarta). Selain itu, kain
lurik juga digunakan pada upacara adat masyarakat Jawa seperti ruwatan,
siraman, mitoni dan lain sebagainya.
Aneka Dompet Karya Lawe (dok. Andini Harsono) |
Jenis
atau motif lurik juga memiliki perbedaan bagi siapa yang mengenakannya. Motif
lurik yang dipakai oleh bangsawan akan berbeda dengan rakyat biasa. Motif lurik
yang dipakai abdi dalem keraton akan berbeda pula dengan keluarga keraton. Sama
seperti kain dari kebanyakan suku lainnya, lurik memiliki tingkatan motif yang
menunjukkan identitas pemakainya. Demikian pula lurik pada upacara adat yang
memiliki makna serta pengharapan yang berbeda. Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan beberapa
motif seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Kemudian ada
pula corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli,
kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan
salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang
sekebon, dan sebagainya.
Kata
lurik berasal dari bahasa Jawa, lorek
yang berarti garis-garis. Lurik juga sebagai simbol kesederhanaan. Sederhana
dalam penampilan maupun pembuatan namun sarat akan makna. Nama motif pada lurik
diambil dari flora, fauna atau sesuatu yang dianggap sakral. Motif lurik
tradisional memiliki petuah, pesan, dan pengharapan bagi si pemakainya. Lurik merupakan kain dari seutas
benang (lawe) yang diolah menjadi selembar kain katun melalui proses penenunan.
Motif yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal atau horizontal dengan
berbagai variasi warna.
Seiring
berjalannya waktu, kain lurik sudah jarang dipakai oleh masyarakat modern.
Bahkan beberapa pengrajin lurik di daerah Yogyakarta dan beberapa daerah di
Jawa lainnya terpaksa gulung tikar karena sepinya permintaan. Melihat kondisi
tersebut, Lawe sebuah social enterprise
yang didirikan tahun 2004 berinisiatif untuk meregenerasi kain lurik agar dapat
diterima oleh masyarakat saat ini. Tanpa harus mengubah motif, Lawe membuat
kain lurik menjadi menarik untuk dipakai sehari-hari dengan warna yang lebih
masa kini. Dari sehelai kain lurik beraneka warna, disulap menjadi tas, dompet,
gantungan kunci, tempat handphone, tempat kunci motor dan stnk, taplak, sprai,
dan sebagainya.
Dengan
jumlah pengrajin sebanyak 25 orang, Lawe mampu menembus pasar nasional hingga
internasional. Selain Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, produk Lawe juga
bisa didapatkan di salah satu pasar di Jepang melalui kolaborasinya bersama
ikatan mahasiswa Hiroshima University of Economics. Tentunya Lawe berharap industri
ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Lawe juga pernah menerima penghargaan
sebagai Stand Individu Terbaik dalam ajang Inacraft 2016. Harga yang ditawarkan
mulai dari Rp. 10.000,- hingga Rp. 2.000.000,-. Kalau sedang berkunjung ke Yogyakarta, bisa mampir ke galery Lawe di Jalan Prof. DR. Ki Amri Yahya No. 6, Yogyakarta untuk mengenal lebih dekat tentang kain lurik.
Fitria
Werdiningsih, salah satu pendiri Lawe mengaku memiliki tantangan besar untuk
membawa kain lurik di tengah masyarakat yang cenderung lebih suka gaya
kekinian. Tantangan lainnya yaitu pemasaran hasil karyanya yang dirasa tidak
mampu bersaing dengan industri tekstil modern. Tantangan itu dijadikan semangat
untuk terus berkarya dengan kreasi menarik berbasis kain lurik. Benar saja,
saya sebagai masyarakat era kekinian tertarik dengan berbagai produk hasil
karya Lawe. Saya memang cinta dengan kain Indonesia. Karena selain nilai seni
yang begitu indah, selalu ada filosofi dalam setiap motifnya. Bukan saja
sebagai kain penutup berpakaian, lurik memiliki nilai-nilai budaya luhur dan
seni yang harus tetap dijaga. Melalui kain lurik ini terdapat pesan, nasihat dan panduan
hidup yang tertuang didalamnya dan diharapkan dapat diteruskan kepada generasi
selanjutnya tanpa terputus.
Saya jatuh hati dengan Tas dari Lawe ini (dok. Andini Harsono) |
Lawe
adalah satu dari enam belas artisan yang berpameran di Meet The Makers ke-11.
Pameran craft as art yang diadakan
setahun sekali ini mengambil tema regenerasi. Harapannya agar kerajinan
Indonesia tidak sekedar sebuah benda kesenian semata, tapi juga menunjukkan
sejarah, nilai budaya, dan memiliki fungsi dalam kehidupan bermasyarakat.
Tentunya tanpa regenerasi maka kerajinan tersebut lama kelamaan akan hilang.
Bertempat di Alun-alun Indonesia, Grand Indonesia Jakarta, dirasa pas karena
disuguhkan bagi semua umur terutama anak muda. Bersaing dengan produk-produk
era kekinian, Alun-alun Indonesia tampil gagah dengan berbagai seni kreatif
hasil karya anak bangsa. Pameran yang berlangsung tanggal 21 Oktober 2016
hingga 2 November 2016 ini juga menghadirkan workshop cara membuat karya-karya para artisan tersebut yang
didatangkan langsung dari daerah asalnya.
Alun-alun Indonesia, Grand Indonesia Jakarta Hayo siapa yang belum pernah kesini? (dok. Andini Harsono) |
16
artisan tersebut adalah Lawe, Wiru (seni serat dengan celup ikat, warna dan
menggabungkan dengan batik dan tenun), Cinta Bumi Artisans (kain kulit kayu di
Sulawesi Tengah), Borneo Chic (kain ulap doyo dari Kutai Timur), Batik Rifayah
(membatik dengan bersalawat), Brahma Tirta Sari (batik kontemporer), Gerai
Nusantara (produk yang dibuat berasal dari alam, kelestarian budaya, dan
berkontribusi pada penghidupan masyarakat adat), Komunitas Tenun Mama Aleta
Baun (kain tenun dari NTT), Kanwinda (batik kontemporer), Pekunden (keramik
dengan teknik sgraffito), Tafean Pah (tenun ikat), Marenggo Natural Dyes (batik
tulis dengan zat warna alam), Omah Batik Sekar Turi (batik klasik), Savu (tenun
ikat dari Sabu oleh masyarakat NTT yang hanya diturunkan kepada perempuan),
Indonesian Heritage Society (penerbitan buku, kartu pos, dll), dan Keramik
Bayat (keramik dengan teknik putar miring yang merupakan teknik tertua di Desa
Pagerjurang, Meliakan Medi, Bayet, Klaten).
Bersama dengan beberapa artisan Meet The Makers ke-11 (dok. Andini Harsono) |
Melalui
Meet The Makers ke-11 banyak inspirasi yang saya dapatkan. Sebagai generasi
penerus, saya merasa wajib untuk melestarikan hasil karya kerajinan yang sarat
akan makna agar tidak digerus oleh jaman dan dapat diteruskan tanpa terputus. Dengan
menggunakan produk-produk kerajinan dalam keseharian saya merupakan salah satu
upaya saya untuk terus mendukung berkembangnya industri kreatif berbasis seni dan
budaya masing-masing suku di Indonesia. Begitu indahnya Indonesia, begitu
indahnya budaya Indonesia, dan saya bersyukur telah menjadi bagian dari
Indonesia.
Mee the makers memberi saya banyak info tentang hasil budaya khusus kain. Baik tenun, batik, lurik dll. Terima kasih sudah berbagi
BalasHapus