Hujan Cinta Untukmu, Mama


Jika ditanya siapa pahlawan sejatimu? Pasti kujawab, pahlawan sejatiku adalah Mamaku. Entah apa yang harus aku tulis disini yang jelas ribuan kata tak kan mampu menggambarkan betapa istimewanya hidupku disisi beliau, sang Mama yang tak pernah letih berbuat apa saja demi kebahagiaan anaknya. Sejak ditinggal Bapakku menikah lagi, satu hal yang terus aku ingat adalah Mama tidak mau menikah lagi. Hanya 2 alasan terbesarnya, pertama karena Mama punya anak perempuan yaitu aku dan yang kedua beliau percaya bahwa perempuan yang ditinggal nikah suaminya dan diterima dengan ikhlas tanpa dendam maka surga ganjarannya. Apa yang bisa aku lakukan pada saat mendengar alasan itu berkali-kali? Hanya tetesan air mata mengalir deras dan doa supaya benar surga menjadi hadiah indah untuk Mama.

Waktu itu umurku 12 tahun, setelah 2 tahun ditinggal Bapak nikah lagi, aku dirawat Mama dan Eyang Putri ( Nenek ) di Kota Semarang. Namun, Allah memanggil Eyangku untuk pulang. Apa yang terjadi, kami berdua seperti kehilangan pegangan. Lalu Mama memutuskan untuk hijrah ke Jogja mengikuti Om ( adik mama satu-satunya ) disana. Drama kehidupan pun dimulai. Almarhum kedua orang tua Mama adalah kepala sekolah dan guru. Pada masa itu, kedua jabatan itu sudah sangat enak hidupnya sehingga sejak kecil Mama dan dua saudara kandungnya tidak pernah diminta untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang berat-berat seperti cuci baju, ngepel dan setrika karena selalu ada pembantu di rumah. Tapi saat pindah ke Jogja demi menghidupi aku, agar aku bisa terus sekolah, Mama rela menjadi tukang cuci piring dan mengerjakan apa saja di sebuah warung makan sederhana di dekat kontrakan kami. Dengan gaji kecil Mama bersabar. Berangkat pagi pulang menjelang magrib dan setiap sampai di rumah Mama selalu mengeluh tangannya sakit karena terlalu banyak mengiris kentang atau wortel. Pinggangnya pegal karena terlalu banyak jongkok dan berdiri mencuci piring. Aku sangat memakluminya. Melihat kondisi Mama seperti itu, siapa yang harus aku gugat? Bapakku yang sudah entah bagaimana kabarnya, bahkan untuk mengirim kabar saja tidak pernah dia lakukan apalagi sampai memberikan nafkah untukku. Lalu apa aku harus menggugat keputusan Allah tentang hidupku?

Setiap hari disela-sela letihnya Mama selalu melantunkan ayat-ayat doa untukku, selalu terselip kalimat “Ya Allah bahagiakan anakku, jadikan dia orang sukses dengan kasih sayangMu, jaga dia sepanjang waktu, aku titipkan dia padaMu dan berkahilah hidup dan matinya. Amin.” Aku mendengar doa itu ketika aku terbangun tengah malam dan mendapati Mamaku sudah membuka kedua tangannya memohon kepada Sang Khalik dengan linangan airmatanya. Hancur lebur perasaanku kala itu dan kubalas dengan mendoakannya kembali. Tertanam kuat di hatiku untuk bisa membahagiakan Mama.

Suatu hari aku pulang hampir menjelang magrib. Aku jumpai Mama sedang berbincang dengan Ibu Yatmi sang pemilik kontrakan kami. Mata Mama tampak memerah. Ternyata Ibu Yatmi menanggih uang kontrakan yang kala itu seharga Rp. 80.000,- per bulannya dan kami sudah nunggak dua bulan. Saat kutanya Mama hanya diam dan diambillah air wudhu lalu beliau mengajakku sholat magrib. Setelah selesai sholat magrib, Mama berkata bahwa gaji hasil di warung itu tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolahku. Keesokan harinya Mama sudah rapi, aku agak bingung karena hari itu hari Minggu dan seharusnya Mama libur. Dengan membawa tas jinjing Mama pamit hendak pergi ke Magelang, beliau menunjukkan nasi dan tempe goreng untukku makan. Kalau aku tidak suka silakan buat mie rebus sendiri, begitu pesannya. Pulang dari Magelang, tas jinjingnya tidak ada, lalu kutanya kemana itu tasnya. Mama menjual jarik ( kain batik Jawa ) milik Almarhumah Eyang untuk menutupi uang tunggakan kost dan sebentar lagi membayar biaya sekolahku. MasyaAllah apa yang harus aku lakukan? Lagi –lagi siapa yang harus aku gugat?

Detik demi detik terlewati. Tanpa terasa aku sudah lulus sekolah. Dengan perjuangan Mama dan dibantu oleh saudara-saudaranya, aku dapat lulus Sekolah Menengah Kejuruan dengan nilai yang sangat memuaskan. Tanpa pikir panjang, aku hijrah ke Jakarta dengan sejuta harapan di kota ini aku dapat hidup mandiri dengan Mama. Jatuh bangun kami rasakan berdua. Susah senang, tertawa menangis, panas dingin, hitam dan putih kehidupan telah kami lalui berdua. Kebiasaan kami adalah satu selimut bersama. Saat musim penghujan datang, kami selalu meringkuk kedinginan berdua di kamar dengan satu selimut bersama. Kami berdua bercerita dari mulai kenyataan, harapan, doa sampai pada khayalan untuk mengusir dinginnya cuaca. Petir, angin besar, hujan lebat tidak kami hiraukan. Kami lakukan itu sampai kami tertidur.

Musim hujan tahun lalu, kudatangi buru-buru kamar Mama ketika hujan petir menyambar. Dengan senang hati Mama menyambutku. Kami bercerita tentang banyak hal. Mama dan aku sudah seperti sahabat karib. Tak ada lagi sungkan untuk menceritakan apa saja. Sejak kecil aku tidak pernah absen untuk lapor cerita tentang kejadian hari itu yang aku alami. Tentang apa saja bahkan tentang cinta.

Kurang lebih 2 bulan yang lalu, suatu pagi aku dikagetkan oleh malaikat maut yang dengan ramah serta kasih sayang menjemput Mamaku. Sekitar setengah jam sebelum Mama pulang, Mama masih membuatkan teh manis hangat untukku. Pagi itu kami sangat mesra. Memang sudah sebulan terakhir kami sangat mesra. Sarapan bersama, makan malam pun bersama. Mama terlihat sangat bahagia. Doanya masih belum berubah yaitu Mama menitipkan aku sepenuhnya kepada Allah. Bahkan saat hembusan terakhirnya, Mama melihatku dalam dengan setetes airmata di ujung mata kanannya lalu tersenyum. Beberapa hari menjelang Mama pulang, Mama hanya terus berharap aku bisa menyelesaikan kuliahku dan mendapatkan gelar Sarjana yang sempat tertunda karena sesuatu hal. Mama sangat memakluminya.

“Mah, aku yakin Allah sangat sayang pada Mama. Aku yakin doa-doa Mama pasti untuk kebaikanku. Bahkan hembusan nafas terakhir Mama hanya untukku. Aku kesepian Mama pergi. Tapi aku harus menjalaninya sebagai takdir. Aku hanya bisa berdoa agar kita dipersatukan lagi disana. Aku akan berusaha setegar Mama dan melakukan apa yang sudah Mama ajarkan tentang budi pekerti, unggah ungguh, dan kebaikan. Musim hujan tahun lalu Mama masih bisa memelukku dan memberiku selimut, tahun ini? Tahun depan? Hatimu begitu luas tidak ada samudra yang bisa menandingi luasnya hatimu untuk bersabar membesarkan aku, mendampingiku hingga diusia 25 tahun. Masih ingat, pada hari ulang tahunku ke-25 kemarin, Mama ngotot untuk merayakannya meskipun hanya makan berdua di lesehan daerah Blok M. Ternyata hal itu bisa membuatmu sangat bahagia ya Mah? Ternyata ulang tahunku yang kemarin itu tahun terakhir Mama ucapkan dan  Mama rayakan untukku. Aku sepi Mah. Entah berapa liter airmata yang akan menemani hidupku sampai bertemu Mama lagi. Maafkan aku Mah. Maafkan anakmu yang nakal ini. Aku sering buat Mama sakit hati, aku bahkan sering buat Mama kecewa. Tapi lagi-lagi Mama bisa bersabar dan mendoakan aku. Percayalah Mah, rindu yang sangat mendalam ini akan terus aku rasakan. Bukan saja pada musim ini tapi ribuan musim yang akan datang. Sampai bertemu disana Mah. Surga untukmu Mah, aku mohonkan itu pada Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Amin.”

Ditulis dengan linangan airmata dan kerinduan yang teramat dalam untukmu Mama. Semoga pembaca bisa segera mencium Mamanya dan bagi yang sudah ditinggalkan agar bisa segera mendoakannya. Semoga menginspirasi.

Artikel  ini diikutsertakan pada 

Komentar

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  2. semua kisah pasti berakhir indah :(

    BalasHapus
  3. Pakde Abdul Cholik : sudah semua ya Pakde :)

    Mba Tanti Amelia : iyaa akan kutunggu waktunya :)

    terimakasih untuk para sahabat yang telah bersedia mampir. Salam untuk Ibu kalian yaa :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer

Follow Me

Instagram : @andini_harsono Facebook : www.facebook.com/andiniharsono Twitter : @andiniharsono Blog lainnya : www.mainjalan.com Email : andiniharsono@gmail.com