Suatu Perjalanan Tentang

Air Terjun Kanto Lampo - Gianyar
design by canva
re-design and photo by Andini Harsono

Pagi buta aku harus segera bergegas karena matahari terbit tidak akan menunda kemunculannya. Pantai Sanur memang spot matahari terbit yang paling indah di Bali. Maka kami ingin menikmatinya.

Masih setengah mengantuk, aku menerima telepon dari local guide merangkap driver yang akan menemani kami seharian.

“Selamat pagi Ibu, saya Gede yang akan mengantar Ibu. Saya sudah ada di bawah, di depan serambi, apakah Ibu sudah siap?” suara laki-laki berlogat Bali kental memecahkan kantukku sesaat.

“Oh iya Bapak, mohon tunggu sebentar yaa. Kami masih beberes.” ucapku kemudian mengakhiri panggilan telepon.

“Heh Ria, lu main bilang bentar aja, gue belum rapi tahu.” tegur Lia dengan jutek. Iya, Lia memang paling jutek di antara geng kami.

“Ria, Ria, Ria.” terdengar suara Santi memanggil-manggil dari balik pintu kamar mandi.

“Apaan sih?”

“Emang sunrisenya jam berapa sih di Sanur?” tanya Santi sambil menggosok gigi.

“Ya jam 6, mungkin lebih cepet. Eh dimana-mana ya sekitar jam itu. Buruan mandinya, pake nanya sunrise keluar jam berapa lagi. Ini udah jam 4 lewat.” kataku sambil mendekat ke pintu kamar mandi.

Sementara Lia sudah siap dan mulai mengeluarkan barang-barang kami. Sesaat Santi pun siap. Kemudian menyusul Adi yang keluar dari kamarnya. Di geng kami Adi memang cowok sendiri. Dia menjadi primadoni di antara kami, eits jangan salah, dia malah yang harus kami jagain bukan dia yang menjaga kami.

Ketika kami turun dari kamar menuju serambi, terdengar suara anjing menggongong begitu dahsyat. Kami menginap di sebuah homestay di daerah Ubud. Kami memilih homestay dengan rumah adat Bali supaya lebih terasa tinggal di Balinya.

Dari balik pepohonan, muncul seorang pria dengan muka setengah pucat dan dia menyapaku.

“Selamat pagi Ibu Ria. Saya Gede.” sapanya ramah sambil mengulurkan tangannya.

“Oh iya Pak Gede. Ini teman-teman saya, Santi, Lia dan Adi.” mereka saling sapa dan berjabat tangan.

“Itu kenapa muka Pak Gede terlihat panik dan sedikit pucat? Sakit?” tanyaku

“Oh tidak tidak, saya sehat saya baik, cuma tadi takut digonggongin anjing Bu.” mukanya berubah merah merona.

Rupanya suara anjing menggonggong tadi itu sedang menyapa dia, hihihi..

“Hahahaha, ih Bli masa sama anjing aja takut, kalah dong sama aku.” goda Lia.

“Eh lu main panggil Bli bli aja.” senggol Santi.

“Hehe, iya saya memang takut anjing Bu. Mari, mana barang bawaannya biar saya bantu masuk mobil.”

Setelah berpamitan sama pemilik homestay, kami pun ambil posisi memasuki mobil.

Mendadak hening. Kemudian tidak lama, Gede menghentikan mobilnya. Lalu kami semua terpana, karena dia tidak berani mengusir anjing yang sedang berada di tengah jalan dan menghalangi jalan kami. Sontak Lia tertawa terbahak-bahak. Lalu segera Lia membuka jendela dan mengusir anjingnya untuk minggir.

“Hahaha Bli Gede, sumpah yee kamu tuh tinggi gede sesuai namanya masa takut banget sama anjing.” Lia masih tertawa sambil terus menggoda Gede. Kami bertiga pun menimpalinya. Gede hanya senyum-senyum malu.

“Hooaamm masih ngantuk gue. Tidur dulu ah. Berapa lama perjalanannya Pak?” tanya Santi.

“45 menit saja Ibu.”

“Ah jangan panggil Ibu lah, macam tua kali gue. Panggil Santi aja.” canda Santi.

“Oh iya kalau gitu sama, jangan panggil saya Pak, panggil saya Gede saja. Hehe.” balas Gede.

“Iya ok Bli Gede.”

“Kan apa gue bilang, dia masih muda, masa dipanggil Pak. Emang Ria nih kebangetan.” celetuk Lia.

“Lah kok gue?”

“Kan lu yang mulai panggil dia Pak.”

“Lah dia panggil gue Ibu ya gue panggil dia Pak.” jawabku asal.

“Ini apaan sih pada berisik aja.” saut Adi sambil asyik melahap roti.

“Ketimbang lu kerjaannya makan aja.” sahut Lia.

Terjadilah keributan diantara kami. Sementara Gede mulai menghidupkan musik di mobil.

“Eh lu tidur mulu sih San. Lu bangun paling terakhir diantara kita. Molor mulu. Liat tuh Bli Gede, pasti dia bangun dari jam 3 tuh buat jemput kita.” celetuk Lia.

“Ndak, salah Bu, saya bangun jam 2.” sahut Gede sambil cengengesan.

“Ih panggil gue Lia aja. Gue belum Ibu-ibu.” juteknya Lia mulai terlihat.

“Wih jam 2. Pasti Bli Gede dibangunin istrinya. ‘Papah papah bangun, harus antar tamu ke Sanur jam 4.’ Aku yakin Bli gak bisa bangun sendiri.” godaku.

“Iya saya sudah pasang alarm padahal. Tapi tetap saja saya terbangun karena panggilan keras dari Ibu saya. Hehe kebetulan bukan istri yang bangunin, tapi Ibu saya. Saya masih tinggal dengan Ibu belum dengan istri.”

“Bli masih single?” Lia langsung menyahut dengan nada gembira.

“Eh inget, single belum berarti jomblo.” timpalku cepat.

“Hehe kebetulan saya masih single dan masih jomblo.”

“Yeess!!” sahut Lia dengan cepat.

“Muuullaaiii..” sesaat suara Santi mengagetkan kami. Ternyata Santi tidak tidur.

Perjalanan Ubud-Pantai Sanur tidak terasa karena canda tawa kami.

Setelah puas menikmati Pantai Sanur, kami beranjak ke Desa Adat Penglipuran. Seperti halnya subuh-subuh berangkat tadi, sepanjang perjalanan kami diwarnai dengan canda tawa. Kemudian kami mulai bertanya soal adat Bali, mulai dari nama hingga bahasa.

Memang bahasa Bali mirip-mirip dengan bahasa Jawa tapi cukup lumayan susah mengikuti dialeknya.

Setelah Penglipuran kami menuju ke Air Terjun Kanto Lampo di Gianyar. Di sana sungguh tempat yang tepat untuk menghilangkan penat. Ya, bagiku Bali memang tempat yang pas untuk me-refresh semuanya. Kami baru pertama kali ke air terjun ini, atas rekomendasi dari Gede, kami sepakat bahwa air terjun Kanto Lampo begitu tenang.

Aku dan Lia memilih untuk duduk-duduk di batu yang berada di tengah sungai yang mengalir dari air terjunnya. Menikmati sentuhan air dingin yang menyapa kaki-kaki dan mengabadikan keindahan alam anugerah Sang Widhi.

Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan. Tuhan sungguh nikmat-Mu luar biasa di sini. Udara sejuk, air bersih, pepohonan rimbun, dan orang-orang sekitar yang ramah.

Tiba-tiba aku teringat dia, ya dia. Kedatanganku ke Bali salah satunya untuk melepaskan dia dari hatiku, karena aku tidak yakin dia memiliki perasaan yang sama padaku. Jalan terbaik ketika merasa jatuh cinta adalah bersiaplah untuk patah.

“Ria, fotoin gue dong di situ.” Lia menunjuk ke arah air terjun.

“Ya ok bentar.”

“Mba, Mba Lia jangan lewat situ kalau mau turun ke air terjunnya.” panggil Bli Gede. Ternyata dia mengawasi kami dari atas sana.

“Lewat mana Bli?” tanya Lia.

“Bentar saya panggilkan teman saya.”

Gede memanggil guide yang merangkap sebagai safety guard. Dibawalah Lia ke tengah air terjun untuk berfoto. Sementara aku tetap tinggal di bebatuan itu. Sambil membidik Lia dari kejauhan, Gede turun menemaniku.

“Ndak ikut foto di sana Mba?” tanyanya.

“Oh gak, aku lebih suka di sini, bersantai di atas batu dengan kaki terendam air. Eh btw panggil Ria aja.” ucapku sambil senyum.

“Baik. Memang sepertinya kita seumuran ya, hehe.”

“Iya. Pasti seumuran lah hehe. Oya, Bli sudah lama jadi guide?”

“Oh baru Ri, baru 8 bulan saja. Sebelumnya saya berlayar.”

“Ohya? Berlayar di mana?”

“Sampai ke Jerman waktu itu. 2 tahun saya di kapal, lalu balik ke sini, karena Ibu sempat sakit lama.”

“Oh gitu. Tapi sekarang sudah sehat?”

“Sudah. Makanya saya sempat kepikiran ingin berlayar lagi.”

“Oh bagus itu Bli. Berlayarlah hingga ke belahan dunia sebelah sana, hehe.”

Mendadak aku menikmati senyumnya yang ramah, terlihat begitu dalam cinta terhadap Ibunya, aku memang kagum dengan seorang anak laki-laki yang begitu dalam mencintai Ibunya. Bagiku, that so amazing in life.

“Mohon maaf saya mau tanya, Ria sudah berkeluarga? Menikah gitu.” pertanyaan Gede membuatku kaget.

“Hah? Oh belum.”

“Tapi pacar sudah ada kan?” godanya

“Hahaha sulit Bli, cinta itu rumit bagi aku. Sulit lah pokoknya.”

“Hey tidak ada yang sulit di dunia ini. Semua akan jadi mudah kalau kita menjalaninya dengan ikhlas.”

“Ya kayaknya sulit untuk menggapai dia, terlampau jauh. Gak mungkin kayaknya.”

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini Ri. Seperti dulu saya, saya ini orang desa, saya ikut sekolah pelayaran dan saya coba melamar hingga akhirnya saya bisa 2 tahun berlayar. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana Jerman, bagaimana keindahan Yunani, dan Negara-negara yang sempat saya singgahi waktu itu, tapi saya bisa mengalaminya. Artinya tidak ada yang tidak mungkin kalau kita mau berusaha kan?” jelasnya menenangkan.

“Ya beda case-nya lah Bli. Ini kan soal perasaan, gak ada yang bisa memaksakan.”

“Nah tapi kalau sudah jodoh? Eh tapi ada gak ya itu? Soalnya saya juga belum nemu hahaha.” candanya.

Tanpa disadari kami hanyut dalam canda tawa di tengah aliran air yang sudah semakin deras. Awan-awan perlahan mulai berkumpul dan berubah menjadi abu-abu. Sinar matahari sudah tak nampak lagi. Angin yang sejuk berubah menjadi semilir nan dingin menyentuh kulit.

“Sepertinya akan turun hujan. Kita naik yuk.” ajak Gede.

Gede juga memanggil-manggil Lia, Santi dan Adi. Lia asyik ngobrol dengan Bli yang membawanya ke tengah air terjun, sementara sedari tadi Santi dan Adi asyik berenang di bawah air terjun. Santi dan Adi memang berpacaran. Kabar yang kudengar keduanya akan segera menikah akhir tahun ini. Semoga.

Sambil menaiki anak tangga menuju ke mobil, Gede bertanya hendak kemana lagi setelah ini. Kami tidak tahu lagi mau kemana terlebih aku, liburan kali ini bagiku adalah kemana kakiku membawanya melangkah.

“Sudah Ri, kalau memang berat lepaskan, kamu layak mendapatkan seseorang yang tulus terhadapmu. Tapi kalau masih mau mencobanya, coba saja, toh yang namanya cinta kan ya gitu, seperti pertandingan, kadang menang kadang kalah. Cinta juga sebuah keberuntungan, kalau kamu belum berhasil memenangkan hatinya, anggap saja kamu belum beruntung. Jadi coba lagi saja, coba terus sampai menang. Nah permasalahannya bisa jadi bukan dengan dia kita menangnya. Hehe.”

Dalam hatiku berkata, boleh juga pendapat Gede. Tangga yang sedikit curam ketika menuju keluar dari air terjun ini menjadi landai, semua itu karena senyum dan canda yang menghibur dari Gede. Hmm laki-laki ini memang menarik.

“Bli, aku pengen lihat sawah.” kata Santi.

“Ok. Kita ke sawah sambil minum kelapa muda ya.” jawab Gede sambil mulai menjalankan mobil.

Perjalanan kami berakhir dengan menikmati senja di pematang sawah sambil berteman kelapa muda. Tawa kami tidak henti-hentinya hingga matahari terbenam. Gede memang orang yang ramah dan suka bercanda. Tak jarang dia melontarkan kata-kata yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. Pria ini juga suka bercerita tentang dirinya, keluarganya, teman-temannya dan juga tentunya Bali. Dilahirkan sebagai anak pertama menjadikan dirinya harus lebih bertanggung jawab terhadap keluarganya. Semangatnya untuk menjadi yang terbaik untuk keluarganya aku lihat dari setiap kalimat ketika dia menceritakan tentang keluarga dan cita-citanya. He really loves his family and I can feel it.

“Thank you Bli, kamu telah membantuku untuk melepaskannya. Ya setidaknya aku bisa lebih menikmati liburanku kali ini tanpa diganggu oleh ingatan tentangnya, tentang perasaan itu dan ya gitu lah hehe.” ucapku

“Sama-sama Ri, saya senang bisa punya teman baru. Kamu, Lia, Santi dan Adi adalah teman baru saya.” senyumnya menghidupkan kembali lilin yang sudah mulai redup sinarnya.

“Lain kali kalau datang lagi ke sini, jangan sungkan kontak saya ya. Meskipun kalian ndak pakai jasa saya sebagai guide dan driver, saya siap menemani liburan kalian sebagai teman hehe.”  ucap Gede kepada kami.

“Saya juga siap kok Bli diajak ke rumah Bli.” celetuk Lia genit.

Tawa kami kembali pecah hingga akhirnya pertemuan ini harus berakhir. Kami diantar kembali ke hotel baru dengan suasana baru, masih di daerah Ubud. Memang benar, setiap perjalanan pasti memiliki ceritanya sendiri. Kurebahkan tubuh ke kasur, perlahan kupejamkan mata hingga Lia membangunkanku untuk segera mandi.

Thank you Bli, thank you Bali :)


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer

Follow Me

Instagram : @andini_harsono Facebook : www.facebook.com/andiniharsono Twitter : @andiniharsono Blog lainnya : www.mainjalan.com Email : andiniharsono@gmail.com